Rabu, 17 Juni 2015

RukyatulHilal dan Hisab


Rukyatulhilal Versus Hisab
Oleh: Ibadurrahman
“Penyakit orang-orang 'muda' yang baru menapakkan kakinya beberapa langkah di dunia ilmu keislaman, adalah mereka tidak mengetahui kecuali satu pendapat dan satu sudut pandang yang mereka dapatkan dari satu orang syaikh. Mereka membatasi diri dalam satu madrasah dan tidak bersedia mendengar pendapat lainnya atau mendiskusikan pendapat-pendapat lain yang berbeda dengannya, Kata Yusuf al-Qaradhawi.

 Tidak lama lagi kita akan kembali kedatangan bulan suci Ramadhan. Seperti biasa sebelum Ramadhan tiba, umat muslim di Indonesia mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatu dari persiapan fisik, mental, dan lain sebagainya. Disamping itu, kejadian yang hampir setiap tahun kita saksikan menjelang ramadhan adalah perbedaan penentuan awal ramadhan dan juga akhir ramadhan di berbagai kalangan. Mulai dari ahli agama hingga masyarakat awam, ramai memperbincangkan hal ini.
            Terdapat dua metode yang umum dikenal masyarakat dalam menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri, yaitu rukyatulhilal dan hisab. Rukyatulhilal adalah aktivitas penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri dengan mengamati hilal. Apabila hilal tidak terlihat, maka genapkanlah bulan Sya’ban atau Ramadhan menjadi 30 hari. Sedangkan hisab menggunakan metode perhitungan atau astronomis untuk mengetahui apakah suatu siklus waktu sudah mulai atau belum. Metode ini sekurang-kurangnya terdapat empat obyek yaitu, hisab arah kiblat, hisab waktu-waktu shalat, hisab awal bulan Kamariah, dan hisab gerhana matahari dan bulan. Dua metode ini yang dipakai oleh dua organisasi masyarakat besar di Indonesia, yakni Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Perbedaan metode yang digunakan, menyebabkan perdebatan hampir setiap tahunnya. Permasalahan yang sering kali timbul, banyak orang yang tidak bisa menerima perbedaan dan beranggapan bahwa pendapatnya yang paling benar dan pendapat yang lain salah. Ini budaya dari tahun ke tahun menjelang Ramadhan yang harus dihilangkan.
            Perbedaan pandangan yang berkaitan dengan permasalahan agama sudah bukan hal yang asing lagi. Sejak dahulu di kalangan para sahabat pun demikian. Tidak hanya pada suatu hal yang masih mengandung keraguan, bahkan pada hal-hal yang bersifat qath’i masih ada saja yang mempermasalahkan. Seperti kewajiban sholat lima waktu, menutup aurat, dan lain sebagainya.
            Alangkah baiknya jika kita mempelajari lebih dalam dua metode tersebut, agar tidak hanya mengikuti suatu pendapat, tetapi juga tahu dalil dan dasar yang digunakan dalam rukyatulhilal dan hisab.
            Perlu kita pahami, rukyatulhilal yang digunakan oleh NU dan hisab oleh Muhammadiyah sama-sama mempunyai dalil yang kuat baik dari Al-Qur’an maupun Hadis. Dasar yang digunakan dalam rukyat diantaranya adalah hadis Rasulullah SAW: "Berpuasalah kamu ketika melihat bulan—Ramadhan—dan berbukalah kamu ketika melihat bulan—Syawal. Maka jika mendung atau terhalang awan sehingga kalian tidak dapat melihat, hendaklah sempurnakan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari.”(HR.Bukhori).
Sedangkan dalil hisab diantaranya Alquran surat Yunus ayat 5: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan—waktu. Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda—kebesaran-Nya—kepada orang-orang yang mengetahui”.
            Dua dalil di atas merupakan salah satu contoh di antara beberapa dalil lainnya yang dijadikan dasar hukum. Para penganut metode rukyatulhilal, mengikuti contoh yang dilakukan nabi dan para sahabat terdahulu berdasarkan hadis sahih di atas dengan melihat bulan. Sedangkan yang menggunakan hisab beranggapan, bahwa perintah pada hadis itu adalah perintah berilatberalasan. Ilatnya adalah karena orang dahulu belum bisa baca tulis, sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukannya hisab. Berbeda halnya sekarang, dengan kemajuan zaman dan teknologi yang begitu pesat, sehingga dimungkinkannya untuk melakukan hisab.  
            Terlepas dari pandangan dan penafsiran masing-masing pihak, sudah sepatutnya kita tetap menghargai perbedaan dan menjaga ukhuwah islamiah antar sesama. Poin pentingnya adalah tidak saling menyalahkan dan merasa dirinya paling benar. Karena rukyatulhilal maupun hisab mempunyai dasar hukum masing-masing. Saling menyalahkan satu sama lain, hanya akan mengotori hati dan membuat ibadah kita di bulan Ramadhan terganggu. Lebih baik kita saling mengingatkan kepada yang tidak berpuasa untuk berpuasa, serta lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas dalam beribadah, terutama di bulan Ramadhan.
            Sudah ada pakar dan para ulama yang lebih kompeten dalam menentukan masalah ini, baik dari ahli agama, astronomi, dan lain-lain. Tetapi ini bukan alasan untuk tidak  memahami masalah rukyatulhilal dan hisab. Kita tetap dituntut untuk belajar, menggali, dan kemudian mengamalkan apa yang kita yakini benar. Sebagaimana Allah berfirman dalam Alquran surat al-Isra ayat 36: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya”.
            Baik rukyatulhilal atau hisab insya Allah kedua-duanya benar. Justru terkadang yang paling ribut menyalahkan adalah mereka yang puasanya masih jarang, yang ibadah dan sholat malamnya di bulan Ramadhan hanya semangat diawal, dan baca Alquran beserta tadarusnya hanya sesekali.
            Oleh karena itu, dalam menyambut tamu agung nan istimewa bulan suci Ramadhan, marilah kita bersama-sama membersihkan hati dan pikiran. Saya yakin, setiap orang menginginkan adanya kekompakkan dan keseragaman dalam mengawali dan mengakhiri puasa. Semoga kita semua dapat meyikapi perbedaan ini dengan bijak dan meletakkannya di dalam bingkai ukhuwah islamiah, amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar